Matahari bersinar terik di depan
mataku, menyilaukan penglihatanku. Debu berterbangan, menyapu jalanan yang
penuh dengan mobil yang berjalan hilir mudik. Aku duduk di kursi halte,
menunggu kendaraan memberi tumpangan padaku. Tak lama setelah itu, seorang anak
berjalan ke hadapanku.
“Hai, Fir. Belum berangkat
sekolah?”anak itu tak lain adalah sahabatku sendiri–Arisa.
“Eh, Risa. Berangkat bareng, yuk.
Ini masalahnya dari tadi nggak ada
taksi!”desahku kesal sambil merapikan rambut.
“Jangan naik taksi, ah. Ayo naik
sepeda bersamaku!”
Arisa menarik tanganku pelan,
membawaku ke sebuah tempat sewa sepeda. Lelaki separuh baya duduk manis di
kursi goyang. Kertas koran menutupi wajahnya, sehingga agak sulit untuk melihat
wajahnya yang sebenarnya. Aku terdiam di sudut ruangan, memilah-milah sepeda
yang cocok. Ada berbagai macam sepeda di sana, dari sepeda ontel sampai sepeda
lipat.
“Pak?”aku menyapa lelaki yang
wajahnya tertutup koran itu.
“Ah, iya? Ada apa, Nak? Mau menyewa
sepeda, ya? Aduh, maaf sekali tadi saya terlelap, habisnya jarang sekali orang
mau menyewa sepeda. Mereka beranggapan bersepeda itu sama sekali membuat tubuh
menjadi pegal, padahal menyehatkan.”lelaki itu berdiri. “Eh, Risa. Mau menyewa
lagi?”
“Iya nih, Pak. Saya juga bawa
pelanggan baru. Namanya Safira.”
Pak Suharjo tersenyum pelan
kepadaku, lalu mengajak kami untuk melihat koleksi sepeda terfavoritnya. Dia
bilang, sewa sepeda ini dahulu sangat laris, dan juga semua sepeda yang dia
punya adalah sepeda kiriman dari anaknya di Jerman, yang bekerja di pabrik
sepeda ternama di sana. Anaknya adalah orang sukses yang sedang menggeluti
pembuatan sepeda. Anaknya sering mengajak Pak Suharjo untuk tinggal di Jerman,
tetapi beliau selalu menolaknya karena mempunyai tekad besar untuk menurunkan
penggunaan BBM (Bahan Bakar Minyak) di Indonesia.
“Nah, Safira, Risa, kalian boleh
pilih yang mana saja. Gratis untuk hari ini.”
Risa membelalak, dan langsung
tersenyum lebar. Dia memilih sepeda fixie, dan aku memilih sepeda lipat. Kami
berdua pun meninggalkan pusat penyewaan sepeda Pak Suharjo, mengayuh sepedanya
dengan penuh semangat.
“Ternyata, naik sepeda juga
seru!”aku tertawa lega. Risa tersenyum lebar padaku, dan kami pun mengayuh
sepeda lebih cepat agar tidak telat ke sekolah.
Aku memandangi seluruh sudut kota
Jakarta yang sangat panas ini. Aku membayangkan kota ini penuh dengan sepeda
Pak Suharjo, sehingga BBM di Indonesia stoknya pun tidak mudah habis. Selain
itu, aku juga merasa iba pada kota Jakarta yang semakin sakit, penuh dengan
debu-debu yang berterbangan dengan kandungannya yang merusak tubuh kita. Andai
saja impian Pak Suharjo berjalan lancar...
Tak lama kemudian, kami sampai di
gerbang sekolah. Kami mendapati bahwa seluruh tempat parkir sudah penuh dengan
mobil dan motor, jadi kami menaruh sepeda Pak Suharjo di belakang sekolah. Kami
beranggapan bahwa di situ sangat aman, dan juga, agar sepeda Pak Suharjo tetap
mulus tanpa ada kerusakan setelah kami menyewanya.
Di sekolah kami, kebanyakan anak
berangkat ke sekolah menggunakan sepeda motor dan mobil. Kebanyakan berpikir
naik sepeda hanya membuat kami semakin lelah dan tak konsentrasi belajar.
Sebelum tadi pagi, aku berpikir begitu. Tetapi ternyata, naik sepeda justru
menyegarkan. Seolah-olah polutan di Jakarta telah disapu habis oleh sepeda kami
berdua. Walaupun panas, tetap saja menyenangkan.
“Wah, nggak kebayang deh, anak yang paling sering naik mobil kok malah
naik sepeda, ya?!”tiba-tiba Lina menepuk bahuku dari belakang. Amarah
menggelayuti pikiranku, tapi Risa pun memberi isyarat padaku untuk diam.
“Lalu, kamu punya masalah dengan
ini?!”jawabku pelan.
“Dimana tuh Alphard-mu? Diganti sama
sepeda lipat, ya?!”celutuk Veronica–sahabat Lina–sambil tertawa.
“Memangnya kalian tidak bosan naik
mobil terus? Naik sepeda lebih seru, lho!”
“Lebih baik naik fixie daripada
motor-mu itu, Ver.”komentarku.
Mereka menggerutu, dan meninggalkan
kami berdua. Aku dan Risa tertawa keras, berniat untuk mengejek mereka. Apa
masalahnya kalau naik sepeda? Toh memang menyenangkan, bukan?
Lalu, kami pun memasukki ruangan
kelas, sambil tetap tertawa karena kami telah membuat Lina dan Veronica
mendengus kesal.
-TO BE CONTINUE-
gitagurl
Tidak ada komentar:
Posting Komentar