Kriiiiiiing...Kriiiiiiing...Kriiiiing...
Bel pulang berdenting keras. Aku dan
Risa langsung menuju ke belakang sekolah, dan mengambil sepeda sewaan kami,
beranjak pergi dari sekolah.
Jakarta menjadi lebih panas setelah
kami pulang. Suhu panas menyengat tubuhku, seolah-olah membakar tubuhku di panggangan.
Keringat mengalir dari dahiku, sehingga tak henti-hentinya aku mengelap dahiku
dengan sapu tangan. Aku mengeluh terus-menerus di atas jok sepeda, dan Risa pun
menghiburku dengan tawaannya yang membuatku kesal.
“Aku setiap hari kepanasan, tuh.”ucap
Risa pelan.
“Hm... terserah kau saja, deh.”
Aku pun terdiam kesal. Kira-kira 5
menit setelah itu, kami sampai di pusat penyewaan sepeda Pak Suharjo. Seperti
tadi pagi, Pak Suharjo masih melahap habis isi koran yang sedang beliau tekuni.
“Pak, kami sudah selesai menyewanya.
Terima kasih, ya, Pak.”ucap Risa pelan.
“Oh, ada kalian berdua! Ayo, mari,
ke sini dulu! Saya hendak memberikan
kue kepada kalian. Tadi istri saya memanggang kue. Semoga kalian suka!”Pak
Suharjo mengacak-acak rambutku, lalu mengusapnya pelan.
“Terima kasih, Pak. Tetapi kami
hendak menuju tempat les. Mungkin lain kali memakan kuenya?”jelasku.
“Begitu, ya? Baiklah, ini, saya
berikan kuenya. Makan saja di tempat les-mu. Semoga beruntung.”
Aku melambaikan tanganku pada Pak
Suharjo dan istrinya, lalu meninggalkan pusat penyewaan sepeda itu. Sebelum
kami ke tempat les, kami duduk di halte dan melahap kue dari Pak Suharjo. Rasa
kue itu sangat lezat, sehingga aku memakannya lebih dari satu kali. Akhirnya,
kami pun berjalan kaki ke tempat les kami berada.
Sesampainya di sana, kami langsung
mencari tempat duduk di ruangan kami yang cocok, lalu tak lama setelah itu guru
kami pun datang. Sekitar dua jam kami mengenyam pendidikan di tempat les itu,
kami pun langsung pulang ke rumah masing-masing.
Aku langsung menjatuhkan diri ke
kasur di kamarku, memeluk gulingku seraya terlelap tidur.
***
Keesokan harinya, aku bangun lebih
pagi dari biasanya. Suhu yang dingin dipagi hari menusuk tubuhku, dan aku pun
menggigil. Rintik-rintik hujan membasahi jalanan di depan rumahku. Kilatan
cahaya menyambar-nyambar di jalanan, membuat pagi terasa lebih suram.
“Pak, hari ini saya naik sepeda ke
sekolah–maksud saya, mulai hari ini.”jelasku pada supir.
“Kenapa, Non?”tanyanya.
“Jadi begini, loh, Pak. Kemarin,
saya diajak teman saya untuk naik sepeda. Naik sepeda itu sangat menyehatkan
buat tubuh, Pak. Maka itu, saya beranggapan naik sepeda akan sangat
menyenangkan.”
“Oh, begitu, ya. Non ini sangat
cerdas, ya. Baiklah, nanti saya laporkan kepada bapaknya Non.”
“Sebenarnya sudah sih, Pak. Tapi tak
apa, lah.”
Aku pun pergi meninggalkan supirku,
seraya menyambar handuk yang tergantung di depan dapur. Aku berlari-lari kecil
menuju kamar mandi. Yah, kupikir kau tahu aku sedang melakukan apa.
Sekitar 30 menit aku menghabiskan
waktu di dalam kamar mandi. Kemudian, aku pun memakai baju seragamku dan
berjalan menuju meja makan. Di sana makanan sudah tertata rapi, jadi, aku
tinggal melahapnya.
“Wah, anak ayah rajin, ya, sekarang
naik sepeda.”puji ayah.
“Iya, Yah. Habisnya, aku ingin
impian Pak Suharjo berjalan lancar. Aku ingin Indonesia penuh dengan
sepeda-sepeda yang menyejukkan kota. Aku harap nggak ada lagi yang namanya kekurangan BBM di Indonesia.”
“Oh iya? Impianmu bagus, Nak. Ayah
akan bantu.”
Aku tersentak. Aku tidak bermimpi,
kan?! AYAHKU INGIN MEMBANTUKU. Benarkah? Hm... bantuan ayah akan sangat bagus.
Setelah aku melahap habis roti yang
sudah disiapkan ibu, aku pun berangkat sekolah. Aku berjalan menuju halte, dan
menunggu Risa datang. Tak lama setelah aku mengirim pesan kepadanya lewat handphone, muncullah batang hidung Risa
dari balik pohon rindang di kanan halte. Dia mengepang rambutnya, dengan
balutan bandana di atas kepalanya. Hari ini Risa tampaknya begitu senang.
Kami pun berjalan menuju pusat
penyewaan sepeda Pak Suharjo. Kali ini, Pak Suharjo sedang menyapu halamannya.
Saat kami masuk ke dalam ruangan koleksi sepedanya, Pak Suharjo pun langsung
beranjak pergi dari halamannya, menawarkan sepedanya kepada kami berdua.
“Wah, hari ini saya mau naik sepeda
ontel saja, deh.”tukas Risa. Dia pun menarik gagang sebuah ontel dengan pelan,
dan perlahan dia naik ke atas joknya.
“Itu pilihan yang bagus,
Nak.”komentar Pak Suharjo. “Bagaimana dengan Safira?”
“Saya mau sepeda fixie, Pak.”
Aku menaiki sepeda fixie itu dan
perlahan mengayuhnya. Kami melambaikan tangan kami kepada Pak Suharjo dan
istrinya. Dan sekali lagi, kami diberikan kue. Rupanya, istri Pak Suharjo
adalah pemilik sebuah perusahaan kue yang laris. Pak Suharjo dan istrinya sudah
mempunyai banyak cabang perusahaan kue di Indonesia. Komentar para pembeli
kuenya selalu saja bagus. Sejak saat itu, aku juga berlangganan kue Ibu
Hanifah.
Suatu hari, setelah kami sudah
berbulan-bulan berlangganan sepeda Pak Suharjo, kami mendapati hal yang sangat
buruk.
Kami sudah sangat cocok dengan
sepeda koleksi Pak Suharjo. Kami tak segan menaruh sepeda di tempat parkir,
karena kami berpikir tempat ini juga cukup aman. Tetapi, saat bel pulang
berdenting keras, dan saat kami keluar dari kelas, kami mendapati rantai sepeda
Pak Suharjo putus. Kami merasa sangat bersalah, dan kami pun agak sedih saat
mengembalikan sepedanya.
“Pak, kami minta maaf
sebesar-besarnya, Pak...”pinta Risa.
“Tidak apa-apa, Nak. Tidak
apa-apa.”Pak Suharjo mengelus rambut Risa.
“Tapi kami merusak sepeda favorit
milik bapak,”aku terisak. “Kami telah membuat sepeda favorit bapak menjadi
rusak.”
“Tidak usah sedih, anak-anak. Ini
toh hanya sepeda, besok kalian boleh menyewa sepeda dengan gratis. Itu bukan
masalah.”Pak Suharjo tersenyum lebar kepada kami.
Aku dan Risa sangat terpukul atas
kejadian itu. Akhirnya, Risa pun ikut ke
rumahku sebelum dia kembali ke rumah. Kami ingin membuat Pak Suharjo bangga.
Dan ini semua semata-mata untuk membalas budi kepada Pak Suharjo. Kami telah
merusak sepeda favoritnya, yang harganya pasti sangat mahal untuk membelinya.
Walaupun Pak Suharjo sama sekali bukan orang miskin, kami tetap ingin melakukan
sesuatu kepadanya. Sesuatu yang akan membuatnya sangat senang.
“Aku punya ide, Fir.”
“Apa idemu? Beritahu aku saja! Aku
harap idemu itu tidak sulit.”
“Ya, sebenarnya agak sulit,
sih,”jawab Risa. “Aku ingin kita membuat artikel tentang menggunakan sepeda,
lalu menyindir tentang penggunaan mobil terus menerus. Aku juga ingin kita
mengirimnya ke mading sekolah. Bagaimana?”
“Siapa yang akan membuat
artikelnya?”
“Kita berdua, tentu saja. Siapa
lagi?”
Sejak saat itu, kami menjadi sangat
sering berkumpul di rumahku. Kami berdua sibuk membuat artikel yang sangat
menarik tentang penggunaan sepeda. Sampai akhirnya, kami berhasil membuat
artikelnya menjadi seperti ini:
‘Sepeda Untuk Kehidupan’
Dibuat oleh: Alyssa Dhyanita Safira
& Arisa Katalina
Kalian tahu nggak, sih, apa manfaat
dari naik sepeda? Wuih, banyak BANGET! Salah satunya, kalian dapat mengurangi
penggunaan bahan bakar. Lho, kok bisa? Tentu saja. Karena, di saat kita
menggunakan sepeda, otomatis kita toh tidak menggunakan mobil, kan? Atau motor?
Jadi, bahan bakar yang digunakan menjadi lebih sedikit. Apalagi, naik sepeda
itu menyehatkan, lho. Badan kita jadi lebih segar, dan tulang kita menjadi
lebih kuat. Nafas kita jadi teratur, dan jantung kita pun jadi sehat. Nah, coba
deh, bedakan dengan menggunakan motor/mobil. Jadi, lebih baik kepanasan atau
nggak sehat, nih??
Naik motor/mobil itu menyebabkan
pencemaran. Hm... pencemaran apa tuh? Ya tentu saja pencemaran udara! Kalau
kita memakai motor/mobil, pastinya kita telah memproduksi banyak banget CO
(Karbon monoksida), abis itu juga CO2 (Karbon dioksida) dan masih
buanyaaaaaaaaaaaaaak lagi. Kalau CO2 diproduksi terus, bakal ada
kumpulan karbon dioksida di langit, yang bakal menghasilkan ‘Efek Rumah Kaca’.
Waduh! Cuma gara-gara pengen cepat sampai ke sekolah dapat menyebabkan
mencairnya es di kutub? Nggak banget deh! Selain itu, kalau kita naik
motor/mobil juga nggak menyehatkan tubuh, lho. Kita kan cuma duduk dan nggak
bergerak. Iya gak?
Nah, selain itu, kalau kalian mau
naik sepeda juga gampang. Kalian bisa menyewa sepeda. Nggak usah beli! Gimana?
Gampang banget kan! Kita (penulis) juga nggak beli sepeda, kok. Kita menyewa,
lho. Ada tempat penyewaan yang benar-benar menarik banget, nih, di dekat halte
Jln. Flora Raya. Cuma untuk informasi aja! Di sana ada fixie, lipat, sampai
sepeda ontel. Wah, menarik banget tuh! Pemiliknya adalah Pak Suharjo. Beliau
sangat berambisi untuk membuat sepeda menjadi tren masa depan. Kalian mau, kan,
menjadi manusia yang sehat tanpa penyakit? Selain itu, menurut kita, sebaiknya
kalian jangan terlalu mementingkan kulit yang bakal hitam kalau naik sepeda.
Kulit hitam itu sehat, lho. Coba saja naik sepeda! Dijamin seru! Dan juga,
jangan lupa tanam pohon di rumah kalian untuk mengurangi polusi, ya.
Sampai jumpa di dunia penuh sepeda
;)
Sesekali aku dan Risa menyelingi
artikel ini dengan bahasa yang agak gaul, sesuai dengan umur kami. Kami pun
sangat bersemangat untuk menempel artikel ini di mading sekolah.
Keesokan harinya, kami berangkat ke
sekolah bersama-sama seperti biasa. Tak lupa kami menyewa sepeda dari Pak
Suharjo, dan Pak Suharjo pun tertawa karena kami sangat semangat untuk
berangkat sekolah. Andai saja Pak Suharjo tahu bahwa kami hendak melariskan
tempat penyewaannya...
Sesampainya kami di mading, kami pun
langsung menempel artikel yang sudah kami cetak tadi malam, dan tidak lupa kami
selipkan gambar-gambar mengenai penggunaan sepeda dan kekurangan BBM di
Indonesia.
Setelah itu, kami pun memasukki
ruangan kelas yang sudah ramai, dan mulai berbincang-bincang mengenai artikel
buatan kami di mading. Aku meminta Elia, Rahma, dan teman-teman satu kelas
lainnya untuk membaca artikel kami. Tetapi, saat mereka kembali ke kelas, wajah
mereka terlihat kecewa. Aku bertanya-tanya apakah dia kecewa karena sudah
menggunakan mobil sangat lama, atau...
“Tidak ada artikel baru, Ris.
Padahal aku ingin sekali membaca artikelmu.”keluh Rahma.
“Apa yang terjadi dengan artikel
kalian?”
“Maksud kalian itu apa? Aku
jelas-jelas menempel artikelnya, Rahma. Serius, deh.”yakinku pada Rahma. Tetapi
dia malah membalasku dengan bibir yang mengerucut.
“Kutunggu madingmu lusa.”dia pun
terkekeh.
Aku menyeringai kepadanya, dan
langsung menarik tangan Risa untuk mengecek artikel. Aku pun terguncang saat
aku hanya menemukan gambar-gambar yang tertempel. Itu memang gambar yang kami
tempel. Tetapi artikel kami mana? Rasa amarah bergejolak di hatiku. Rasanya aku
ingin meruntuhkan mading ini. Kenapa? Kenapa setiap niat baik kami kepada Pak
Suharjo selalu saja terbalas oleh hal yang tidak-tidak? Kami sangat ingin
membuktikan betapa bangganya kami atas impian mulia Pak Suharjo, dan kami ingin
melancarkannya. Tetapi justru yang terjadi malah... orang-orang kecewa karena
kami. Akhirnya, kami pun kembali mencetak artikel kami, dan akan menempelnya
besok.
Dan keesokan harinya, di saat kami
hendak menempelnya di mading... rupanya aku dan Risa sama-sama lupa membawanya.
Kami terlalu sibuk menambah gambar di artikelnya, sehingga kami pun sampai lupa
tentang artikelnya. Aku dan Risa sama-sama kecewa, dan kami pun sama-sama
berjanji akan menempelnya besok pagi.
“Kuharap besok akan aman. Pak
Suharjo akan sangat bangga pada kita.”
Keesokan harinya.
Hari ini pastilah hari yang benar.
Aku sudah mengecek artikelku, dan jelas-jelas aku membawanya, diselipi
foto-foto mengenai topik. Aku dan Risa sudah sangat tak sabar, dan saat kami
sampai di sekolah, kami pun langsung menempel di mading. Tapi ada hal yang
sangat janggal disini.
Hal itu adalah...
Banyak sekali sepeda bertebaran di
tempat parkir.
Aku dan Risa terlonjak kaget, dan
kulihat setiap anak yang berjalan dihadapan kami selalu saja menyapa kami, dan
mengucapkan, ‘kalian membuka hatiku’ atau ‘ucapan kalian sangat menyenangkan’
atau bahkan ‘kalian superhebat’, membuat kami merasa sangat bangga.
Tiba saatnya kami masuk kelas. Saat
kami duduk, aku melihat Lina dan Veronica mendekati kami. Aku pikir mereka
hendak mengejekku, tapi ternyata aku salah.
“Aku minta maaf, ya, Arisa, dan
Safira. Aku telah memutuskan rantai sepeda Pak Suharjo itu–”
“JADI ITU ULAHMU?!”gertak Risa.
“–aku sangat menyesal... rasanya aku
ingin sekali membalas budi, aku ingin membuat kalian dapat memaafkanku.”
“Dan aku juga.”tukas Veronica.
“Aku tak tahu, deh, apa yang bisa kalian
buat.”balasku kesal.
“Saat aku memutuskan rantainya, aku
dan Veron pun membuntuti kalian berdua. Kami melihat begitu tulusnya ucapan
minta maaf kalian kepada Pak Suharjo yang kau sebut-sebut itu orang yang sangat
baik... Lalu kami pun mengetahui bahwa kalian akan membuat artikel–”
“Kaulah yang mencuri artikel
kami!”bentak Risa pelan.
”–a ... aku minta maaf.”Lina pun
meneteskan air matanya. “Aku dan Veron berniat untuk mempublikasikan artikel
kalian lebih luas lagi... jadi aku pun beranggapan bahwa ayah Veron bisa
membantu.”
“Ayahku adalah pemilik perusahaan
koran ‘Remaja Pertiwi’, favorit anak
remaja masa kini. Jadi, aku berharap ayahku mau mempublikasikan artikelmu di
halaman depan.”Veronica ikut menangis. “Kami minta maaf.”
“Selain itu, kami pun meminta
ayahmu–lewat ayahku sebagai teman satu kantor ayahmu–untuk memasukkan
gambar-gambar artikel ke dalam flashdisk-mu, yang sudah aku cari bersama Veron.
Maaf karena baru memberitahumu sekarang.”
Aku dan Risa saling tatap-tatapan,
dan kami pun memutuskan untuk mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada
Lina dan Veronica. Berkat mereka, usaha kami berjalan mulus, dan berkat mereka,
kami tidak lagi berpikiran negatif atas diri mereka sendiri.
gitagurl
Tidak ada komentar:
Posting Komentar